"Memperingati perjuangan ibu kita, 

KARTINI, tidak hanya ber-kebaya untuk

 melambangkan kecintaan kita padanya,

 tetapi kita khususnya wanita, harus juga

 mempraktekkan pengabdian dan perjuangan 

beliau, yakni memperjuangkan kehidupan rakyat

 yang tertindas.

 #Selamat hari Kartini, Hari kebangkitan para Wanita Progresif

~ M. Bisri (Nasionalis, Mahasiswa ilkom UA '11)

Raden Ajeng (RA) Kartini dilahirkan dalam lingkungan keluarga terpandang sekaligus terdidik. Kakeknya, pangeran Tjondronegoro sangat peduli pendidikan. Laki-laki yang semasa hidupnya pernah  memimpin rakyat demak itu, mendatangkan guru dari Belanda untuk mendidik anak-anaknya, yang salah satunya adalah Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, ayah Kartini. Budaya yang sangat baik ini, dilanjutkan oleh Sosroningrat salah satu wujudnya adalah mengirim kakak Kartini, Sosrokartono, belajar ke Eropa. Ditengah lingkungan terdidik ini Kartini tumbuh menjadi perempuan cerdas sekaligus humanis.



Ketika kita membaca surat-surat yang ditulis oleh Kartini untuk teman-temannya di Eropa, terlihat cita-cita yang begitu besar diharapkan oleh Kartini. Pemikiran-pemikirannya yang kritis tentang yang sering kita dengar sebagai "emansipasi wanita", hanyalah sebagian kecil dari cerminan hidup Kartini yang begitu besar dan meluas. Hal ini bisa dilihat dalam sejarah tentang kehidupan sehari-hari Kartini yang begitu enerjik, penuh tenaga, dan selalu total dalam setiap perbuatannya.

Kelincahan itu tampak saat ayahnya, yang kala itu menjabat sebagai bupati Kabupaten Jepara memberikan bantuan untuk korban bencana di desa-desa maupun hanya sekedar bersilahturrahmi dengan masyarakat desa. Kartini selalu ikut dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh ayahnya.

Selain itu, Beliau juga sangat tertarik dengan hal-hal baru yang memerlukan keterampilan, seperti membatik, bercocok tanam, sampai saat panen tiba pun, beliau ikut mengetam hasil panen. Tak hanya itu, Kartini juga dikenal sebagai sosok yang pandai memasak masakan Eropa karena hobinya membaca media cetak, khususnya koran.

So, dengan keahlian yang sangat kompleks, tak bisa dipungkiri bahwa beliau patut dijadikan panutan dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh kaum hawa khususnya. Beliau seolah menjadi sebuah "UUD" sekaligus buku pedoman bagi setiap perempuan. Beliau itu "Pancasila"-nya perempuan Indonesia. Sedikit bicara, banyak menulis, membaca dan bertindak. Perilaku yang sangat jarang kita temui dalam diri perempuan Indonesia 2012.


Merendahkan Kartini Dalam Kebaya 

Saya sedikit tidak sependapat dengan tradisi negeri kita setiap datang tanggal 21 April, yang tak lain adalah simbol untuk memperingati jasa Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Yakni dengan memakai kebaya atau pakaian adat yang dipakai kartini dalam foto dirinya yang sering kita lihat. Apakah hanya sebatas itu cara kita memaknai perjuangan dari Kartini? Apakah Kartini hanya identik dengan kebaya? Kalau anda menjawab "Ya" dari dua pertanyaan saya tadi, bolehlah saya membuat suatu premis bahwa Kartinian adalah berkebaya di sekolah, di kampus, di kantor, bahkan di SPBU. bukankah secara tidak langsung kita merendahkan pemikiran dan perjuangan Kartini?

Satu lagi contoh yang pernah saya lihat, saat hari Kartini tiba, ada sebuah acara lomba masak yang diadakan oleh sebuah instansi swasta. Apakah hal ini hanya karena Kartini yang hobi dan pintar memasak? Atau apakah memasak dipahami sebagai kewajiban perempuan berkebaya? Jika pertanyaan tadi membuat anda menjawab dengan kata "Ya", niscaya itu juga merupakan tindakan merendahkan Kartini.

Cobalah kita memaknai dari sisi yang lain, dari kegiatan-kegiatan Kartini yang lain. Seperti halnya membaca koran, kegiatan ini membuktikan bahwa Kartini adalah seorang perempuan yang haus akan infomasi. Beliau tidak hanya menjadi pembaca pasif, Beliau aktif mengirimkan ide-idenya yang memperjuangkan nasib rakyat-rakyat tertindas dan sering dimuat di halaman koran tersebut. Saling bertukar ide dengan sesama pembaca yang kebanyakan berasal dari Eropa merupakan kegiatan yang sangat positif dilakukan oleh Kartini.


Kartini Muda Dalam Pornografi

Indonesia menduduki peringkat pertama pengakses situs porno. Aib ini disampaikan oleh Ketua Humas dan Pusat Informasi Kementrian Kominfo. Hal yang sangat ironis, menginat kita juga merupakan negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Seperti diketahui, Islam mengaharamkan segala bentuk pornografi.

Pornografi jelas berdampak pada pergeseran nilai. Dan yang paling ekstrem adalah Human Trafficking. Menurut data dari kepolisian, tren saat ini menunjukkan korban yang justru rela dijual, mencari orang yang bisa menyalurkan. Kalau kejadian yang berkembang seperti ini, bagaimana pihak kepolisian bertindak? Siapa yang patut disalahkan? Ketika polisi akan menindak penyalurnya, yang dianggap sebagai korbannya tadi merasa tidak pernah mengalami penderitaan akibat trafficking; tidak menderita secara psikis, fisik, mental, ekonomi, atau sosial. Justru mereka beranggapan bahwa itu memang sudah menjadi pekerjaan mereka untuk menghidupi dirinya dan pekerjaan tersebut dianggap nyaman bagi mereka.

Kalau sudah seperti ini, bagaimana mereka dikatakan sebagai "korban" dan bagaimana polisi memberantas human trrafficking? Berdasar statistik dari kepolisian, korban trafficking didominasi perempuan usia 20 tahun-an. Usia matang untuk mengerti hak dan kewajiban sebagai perempuan.


Dan pertanyaan terakhir, Bagaimana nasib bangsa kita jika "Kartini" sebagai salah satu tiang negara mengalami kelongsoran nilai akibat pornografi? Jawabannya, RA Kartini pasti menangis jika beliau tahu.


CMMIW,
samrodnam :)




Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.