By ~ Anabel Hernandez 
Jurnalis Penerima Golden Pen of Freedom 2012 Award

Setahun sembilan bulan lalu saya tak pernah bermimpi berada di sini. Tiap pagi saya terbangun dan mendapati fakta bahwa saya tinggal di sebuah negara yang dalam enam tahun terakhir lebih dari 60 ribu warganya terbunuh oleh pemerintah dan mafia. Ya, 60 ribu mata yang tak pernah bisa terbuka lagi. Sering saya terenyak ketika memeluk anak saya, ibu saya, dan saudara-saudara saya. Terenyak karena saya tinggal di sebuah negara yang lebih dari 18 ribu anak, remaja, dan orang tuanya tewas dalam perang melawan mafia narkoba. Ya, 18 ribu keluarga mereka tak bisa memeluk mereka lagi.  

Pada Desember 2010, ketika The Drug Lords, buku mengenai hasil kerja liputan investigatif saya selama lima tahun, terbit, buku itu juga menjadi vonis mati. Saya dijadikan target mati oleh sejumlah pejabat tinggi di Kementerian Keamanan Negara rezim Presiden Felipe Calderon. Sebab, buku tersebut mengungkap hubungannya dengan para penculik dan Kartel Sinaloa, salah satu kartel paling besar di dunia menurut DEA, badan narkoba AS.

Sejak 1 Desember 2010, kepala saya seolah sudah dipasangi banderol harga untuk dibunuh. Dan sejak saat itu pula, saya memutuskan berjuang demi hidup saya. Sebab, saya terancam kehilangan hal-hal yang paling saya cintai. Keluarga saya diserang, saudara perempuan saya berkali-kali dilecehkan di rumahnya sendiri oleh orang-orang tak dikenal yang bersenjata, dan orang-orang yang menjadi narasumber saya kini tak lebih menjadi deretan nama dalam daftar orang hilang. Atau terbunuh. Atau dipenjara dalam peradilan yang dipaksakan. Tiap hari saya terbangun dengan menanggung beban 

itu, juga tak pernah tahu kapan giliran saya tiba.      Seluruh dunia tahu bahwa kehidupan di Meksiko bagai di neraka. Tapi, dunia tak akan pernah tahu bagaimana kehidupan sehari-hari yang ada di sana. Tak pernah tahu bahwa apa yang terjadi di Meksiko mungkin tak akan pernah terjadi di bagian mana pun di dunia ini. Saya telah berkali-kali bertemu dengan jurnalis dari seluruh dunia yang telah datang ke Meksiko dalam beberapa tahun terakhir dan merasakan sendiri bagaimana mendebarkannya melakukan safari teror dan kematian.
Para wartawan itu telah melihat baku tembak, mayat bergelimpangan yang sering sudah tak utuh; telah menghitung seberapa banyak orang tergantung; dan mewawancarai pembunuh bayaran. Tapi, mereka tak pernah tahu dan sampai pada pangkal permasalahan.    

Pemenang Nobel Mario Vargas Llosa pernah berkata bahwa kediktatoran yang sempurna itu kini terjadi Meksiko. Yang terjadi di Meksiko sekarang adalah kediktatoran kriminal yang lengkap. Rezim paling ganas dalam sejarah kejahatan terorganisasi (mafia) yang jalin-menjalin berkelindan dengan kekuatan politik dan ekonomi, yang diperparah dengan sistem pemerintahan korup sekaligus mandul dalam penegakan hukum. Kombinasi itu menciptakan masyarakat yang begitu takut sehingga membuat rezim tersebut semakin tumbuh, berkembang, dan besar.

Sebagai perbandingan, percayalah, menulis tulisan ini atau menyampaikannya di Meksiko jauh lebih berbahaya ketimbang bekerja sebagai penjahat narkoba untuk rezim tersebut.      Rezim itulah yang membunuh ribuan anak, remaja, perempuan, dan pria tak bersalah. Kekuatan kelam itulah yang kini mencengkeram Meksiko dan menjadikan warganya sebagai subjek teror, penyiksaan, penculikan, dan pembunuhan. Kekuatan gelap itu jualah yang membendung kebebasan berbicara, kekuatan jahat yang telah membunuh 82 jurnalis, 16 lainnya hilang, dan ratusan lainnya terancam dibunuh dalam sepuluh tahun terakhir. Sebanyak 80 persen masalah itu terjadi dalam administrasi presiden yang baru saja lengser, Felipe Calderon.    

Kekuatan jahat itu pula yang membuat kejahatan terhadap jurnalis menjadi tak terhukum. Untuk mencuci tangannya yang berdarah, pemerintah Meksiko menyatakan telah memproses sejumlah oknum petugasnya yang melakukan kejahatan terhadap para jurnalis dan menyatakan telah melindungi profesi itu dengan sepenuh hati. Tapi, siapa pun tahu bahwa Meksiko kini adalah negara paling berbahaya di seluruh dunia untuk profesi wartawan. Rezim itu sama sekali tak memprosesnya, kecuali yang tak sesuai dengan kepentingannya. Dalam tiap sepuluh kasus kriminalisasi jurnalis, hanya satu yang diproses.    

Krisis kebebasan berekspresi di Meksiko telah mencapai titik puncaknya. Media sudah begitu takut dan begitu terancam tergantung finansialnya terhadap pemerintah, juga sudah tak mampu lagi mengadvokasi jurnalis mereka yang terbunuh atau diancam atau menghilang. Ada semacam kepasifan, juga kurangnya solidaritas persatuan jurnalis. Itu bisa dipahami. Sebab, begitu membela yang teraniaya, media mereka bisa langsung dikriminalisasi.

Selain itu, ada ketakutan akan teror yang seram melihat sejumlah jurnalis dibunuh, kemudian dimutilasi, lantas potongan tubuhnya dibuang begitu saja di tempat sampah. Jadi, ketika ada salah satu media atau jurnalis dikriminalisasi ikut dalam sindikat, mereka tak bisa berbuat banyak. Meskipun, tuduhan pemerintah terhadap media atau jurnalis itu sering kurang bukti.    

Setahun sembilan bulan lalu saya paham bahwa sangat sulit bertahan dalam kondisi barbar itu. Untuk merasakan desir angin di muka, menghirup udara segar, dan melihat senyum anak tercinta, itu belum cukup sebagai modal berjuang. Sebuah kehidupan yang membisu di depan angkara murka bukanlah sebuah kehidupan yang sebenarnya. Hidup membisu, tak berani bicara ketika terjadi korupsi, kejahatan, dan pembunuhan di depan mata sebenarnya sama saja dengan mati.

Untuk itulah, saya terus menyuarakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan itu. Saya terus menulis mengenai Meksiko yang terus membusuk, di mana terjadi kolusi antara politisi, pelayan publik, dan pengusaha rakus. Sekarang ini Meksiko benar-benar membutuhkan para jurnalis yang berani sekaligus jujur, bersih, serta siap berjuang. Saya yakin bahwa komunitas internasional dan dunia media ikut berbagi tanggung jawab terhadapnya. Setidaknya untuk membantu kami mencapai tujuan-tujuannya. Tanpa kebebasan berekspresi, mustahil ada kemungkinan keadilan dan demokrasi.    

Hari ini, saya telah dianugerahi Golden Pen of Freedom. Saya tak pernah  berharap imbalan atas kerja yang saya lakukan. Karena itu, sungguh saya persembahkan penghargaan ini kepada seluruh jurnalis Meksiko, yang suaranya telah dibekap kematian, penghilangan paksa, dan sensor. Saya juga membaktikan penghargaan ini kepada para jurnalis Meksiko yang hingga saat ini masih menjalankan tugasnya untuk memberikan informasi dan mencerdaskan meski dengan risiko yang besar.    

Saya sendiri akan terus berjuang hingga napas saya terhenti. Saya tak peduli dengan risiko apa pun dan membuktikan bahwa masih banyak jurnalis, juga orang-orang, yang tak mau bertekuk lutut menyerah kepada negara kartel narkoba. Saya tak tahu berapa banyak hari, minggu, bulan, atau tahun yang masih saya miliki. Saya telah berada dalam daftar hitam serta target mati teratas dari orang yang kantongnya penuh dengan uang sogokan sindikat narkoba yang sekaligus kebal hukum. Saya tahu bahwa mereka menanti waktu yang tepat untuk membunuh saya.

Tapi, saya juga tahu bahwa saya tak punya apa-apa selain kebenaran. Suara saya dan tanggung jawab saya sebagai jurnalis akan terus pertahankan sampai mati.      Jika hari (saya terbunuh) itu tiba, saya minta ingat-ingatlah saya seperti ini. Saya tak ingin menjadi sekadar data tambahan untuk daftar jurnalis yang terbunuh. Tapi, saya ingin dicatat sebagai salah satu di antara jurnalis yang berani melawan untuk hidup.    

Adalah benar, orang Meksiko bertanggung jawab atas kegagalannya sendiri. Tapi, saya berharap komunitas internasional tak akan bekerja sama dengan rezim negara narkoba Meksiko. Saya berharap mereka menutup pintu perbatasan dan ekonomi untuk melemahkan rezim jahat itu. Juga menutup pintu bagi para pelaku rezim tersebut, seperti eks presiden, pengusaha, atau otak sindikat.      Saya ingin hidup, tapi tak membisu. Sebab, diam adalah bentuk lain kematian itu sendiri.


Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.