Dompet, de-o-em-pe-e-te. Dompet. benda ini sempat kulupakan
entah sudah berapa lama. Aku sudah lupa kapan terakhir kali pegang dompetku
sendiri, menyimpannya dalam kantong belakang celanaku. Aku juga sudah lupa
kapan terakhir kali aku bilang, “ambil sendiri(uang) di dompetku.” Kata-kata
yang sering terucap setiap kali ada teman yang akan meminjam sebagian uangku.
Aku bahkan sudah lupa kegunaan sebenarnya dari dompet, tujuan sebagian besar
orang membelinya. Aku sudah lupa.
Kalau boleh aku mengingat lagi, dan kalau aku tidak salah,
dompetku dulu sering aku pakai untuk menyimpan sebagian uang pemberian orang
tua atau hasil jerih payahku sendiri. Karena hanya sebagian, tak bisa dibilang
dompetku termasuk yang kategori “dompet tebal”. Mungkin yang membuat dompetku
lebih berisi adalah ketika aku menyimpan beberapa tanda pengenal di sana. Mulai
dari Kartu Tanda Penduduk, Surat Ijin Mengemudi C/A, Kartu Tanda Mahasiswa,
sampai kartu ATM pun ada. Tak jarang, tanda bukti pembelian / kuitansi
bersarang di sana sampai beberapa bulan.
Itu dulu, ketika aku masih memiliki dompetku. Benda persegi
panjang berwarna hitam dengan motif stripping garis hijau dan logo planet ocean yang agak tebal, menambah
tebal volumenya. Entah apa yang membuatku melupakan sensasi punya dompet,
mungkin aku trauma karena pernah kehilangan dompet beserta isinya yang berharga
(rasanya lebih menyakitkan dari pada kehilangan perempuan!). mungkin. Hal ini
membuatku semakin terbiasa hidup tanpa dompet, menyimpan uang disembarang
tempat, meletakkan kartu-kartu penting di manapun aku mau. Tak ada yang
membelenggu / mendistraksi aku supaya meletakkan beberapa barang berhargaku ke
sebuah benda yang kemungkinan hilangnya sangat besar.
Sempat aku merasa bosan ketika ibuk hampir setiap hari
menyuruhku untuk membeli dompet, ini perintah nomor dua dari ibuk yang belum
aku jalankan sampai saat ini (perintah yang pertama punya pacar, ~curcol jomblo ngenes). Aku punya
alasan, aku punya prinsip untuk menolak perintah yang hukumnya wajib ini.
Aku menganalogikan dompet ini seperti perempuan. Yah seorang
perempuan. Terlepas bagaimana bentuk fisik seorang perempuan, ketika kita sudah
terbiasa dan jatuh cinta seolah mereka berubah menjadi sebuah zat adiktif
seperti sebuah candu. Cowok akan dilemahkan oleh candu tersebut, putaran dunia
menjadi melambat, gerakannya menjadi terbatas, produktivitasnya menurun. Mereka
melemah karena ketergantungannya. Itu hal yang tidak aku mau selama ini, aku
masih ingin bekerja, berkarya, menikmati setiap langkah hidup tanpa ada yang
membebani. Aku hanya ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain
secara maksimal, tanpa ada yang melatar belakangi. Ikhlas maksimal!!!
Kalau kemaren ada yang mengolok, “jomblo itu lebih hina dari
seorang pelacur!”. Mungkin tulisan ini bisa mewakili memberikan pembelaan dan
menyampaikan prinsipku. Aku adalah pemuda, dan ingin menjadi pemuda yang bebas,
tidak terkontaminasi kepentingan perempuan. Aku masih belum ingin mendengar
keluhan dari seseorang yang malah akan menambah beban pikiranku sendiri.
Dalam beberapa kesempatan memang aku terkesan merendahkan
martabat perempuan (dengan memainkan banyak perasaan perempuan). Tapi bukan itu
sebenarnya yang terjadi, aku hanya tak tahu bagaimana menghadapi / menanggapi
perasaan seorang perempuan. Apalagi yang secara terang-terangan mengutaraka
ketertarikannya kepadaku, aku akan diam beberapa saat, beberapa jam, mungkin
bisa berhari-hari hanya untuk memikirkan bagaimana aku harus menanggapi
pernyataan yang menurutku nekat menjurus ngawur tersebut. Oke, cukup. Aku kira
sudah tak ada alasan lain, sambil terus melakukan kegiatan-kegiatan bermanfaat,
aku akan mencoba belajar mengerti orang lain lebih dalam khususnya perempuan. Dan tidak menutup kemungkinan, jika ada yang ingin memberiku dompet, aku akan menerima dengan senang hati dan berusaha merawatnya sebaik mungkin. #kode
CMIIW,
samrodnam. :)