#entahlah
Home » 2013
"mas, ada yang mau ketemu, minta kenalan katanya, katanya nge fans sama mas fajrin."
"iya?"
"blablabla(menyebutkan nama, sambil malu-malu)"
"..."
yah, aku hanya terdiam, tak tahu harus berkata apa, antara tidak percaya dan salah tingkah. tapi, mungkin hanya ucapan terimakasih, yang tak sempat saya ucapkan, terimakasih anda telah mengagumi saya.
hari ini, ada 2 orang berkata hal yang sama, "gak mau ngerepotin ndor ".
Saya jawab, "yaudah mati aja, sadar atau nggak hidupmu itu merpotkan orang lain."
"Sepertinya semua sudah berpengalaman dalam hal ini (teman jadi pacar), hampir semua bisa menjawab~", Ujar bu Andria saat pembahasan soal nomor 1 mata kuliah KAP.
dari belakang, dengan nada semangat untuk "menghancurkan" saya, bu Moer, langsung menyela,
"Ndak, Fajrin nggak punya pengalaman sama sekali."
-oke.
Diskriminasi Jurnalis Perempuan di Lapangan
Ketika pria yang menjadi jurnalis dan mewawancarai
narasumber, pria dipandang sebagai jurnalis yang lebih dipercaya dalam memegang
informasi dan kredibel ketimbang jurnalis perempuan. Selain itu jurnalis pria dianggap
lebih matang dan tangkas. "Dan yang terjadi ketika jurnalis perempuan yang
terjun untuk mencari informasi ke narasumber, maka narasumber biasanya
‘meremehkan’ dengan beberapa perlakuan seperti (kadang) melecehkan, menggoda,
atau bahkan menanggapi pertanyaan dengan tidak serius", Marta membagi pengalamannya.
Keterlibatan perempuan dalam dunia
jurnalistik sebetulnya sudah mengalami peningkatan. Melalui survey tahun 2005,
kira-kira dari 100.000 jurnalis yang ada di Indonesia, 17% di dalamnya adalah
jurnalis perempuan. Akan tetapi dampak dan efeknya di masyarakat masih belum
berpengaruh banyak. "Masih perlu ada peningkatan partisipasi perempuan di dunia
jurnalistik ini. Untuk meminimalisir adanya diskriminasi gender dalam media", harap Emi.
Sejauh ini perempuan dan media
massa ada sebuah titik permasalahan yang masih belum bisa diatasi. "Representasi
perempuan di media massa itu sendiri menjadi sebuah lingkar persoalan yang
lumayan mencakup banyak hal. Pandangan perempuan sebagai sebuah objek, salah
satunya", Emi sedikit curhat. Isi pemberitaan yang seringkali menempatkan perempuan di titik
terlemah sebagai korban, pihak yang tidak berdaya, atau bahkan menjadi pihak
yang memancing terjadinya kriminalitas di kalangan masyarakat. Hal ini bisa
diantisipasi bila yang meliput pemberitaan diimbangi oleh keberadaan jurnalis
perempuan. "Penempatan pandangan jurnalis pria akan wanita sebetulnya juga perlu
untuk diperbaiki, agar setidaknya meskipun penulisan dibuat oleh jurnalis pria
tetapi diskriminasi gender dalam tulisan bisa diminimalkan", Marta beragumen.
Dari output kerja yang dihasilkan, biasanya ada rubrikasi sendiri yang
memisahkan antara jurnalis perempuan dan jurnalis pria. Sudut pandang perempuan
biasanya dituangkan di rubrik yang membahas tentang serba-serbi dunia
perempuan. "Di Jawa Pos, nama rubriknya adalah 'For Her'. Meskipun ada juga
masukan tulisan dari jurnalis pria di situ, tetapi jumlah artikelnya didominasi
oleh perempuan", jelas Aini yang mencoba sedikit berbagi pengalaman tentang tempat ia bekerja.
"Menjadi jurnalis perempuan itu harus bermental baja. Resiko yang dihadapi di lapangan tidak jauh berbeda dengan jurnalis pria" - Marta Nurfaidah, jurnalis perempuan koran Surya.
Kutipan di atas mengawali sesi wawancara saya dengan beberapa wartawan perempuan di Surabaya. Ditemui di Hotel Plasa Surabaya, mereka tampak sedang sibuk melakukan liputan pada acara peringatan hari kartini Jumat (19/4). "Secara fisik dan mental semuanya harus dimatangkan
terlebih dahulu sebelum benar-benar menyiapkan diri menjadi seorang jurnalis
perempuan", Emi Harris jurnalis Seputar Indonesia Jawa Timur. Memang, menjadi jurnalis masih menjadi pekerjaan yang riskan bagi perempuan. Terlebih dalam melawan sensitivitas yang dimiliki oleh hati
perempuan pada umumnya, sebagai jurnalis perempuan hal itu juga harus
dikendalikan dengan seksama. Mengingat dunia yang akan dihadapi adalah dunia
jurnalistik yang keras dan tidak memandang pria atau wanita. "Semua dipukul
rata, dan itu yang menjadikan jurnalis perempuan harus memiliki sifat yang
tidak mudah sakit hati", tambah Hany
Akassah dari Radar Surabaya.
Dewasa ini profesi sebagai jurnalis
tidak hanya digeluti oleh kaum pria. Kaum perempuan juga ikut andil dalam
meramaikan dunia jurnalistik di Indonesia. Adanya emansipasi wanita serta
terbukanya pandangan era posmodernisme dan kesetaraan gender membuat profesi
jurnalis tidak hanya dipandang sebagai wilayah kaum pria saja. Selain itu,
profesi jurnalis ini juga memiliki kekhususan tersendiri bila yang menerjuninya
adalah seorang wanita. Dengan sifat rajin dan disiplin yang notabene dimiliki
seorang wanita, profesi jurnalis akan menjadi semakin terbuka dan tidak
memandang gender. Sebenarnya ada beberapa perbedaan antara jurnalis perempuan
dan pria, seperti dalam hal tunjangan dan pengajuan hari libur. Yang menjadi
pertanyaan, sudah adilkah porsi hak dan kewajiban antar keduanya?
Adapun narasumber yang penulis
sertakan di sini adalah Martha Nurfaidah dari media cetak Surya, Hany Akassah
dari Radar, Aini Roosidawati dari Jawa Pos, serta Emi Haris dari Sindo. Keempatnya
memiliki kesamaan kesepakatan, yaitu sama-sama mengungkapkan bahwa menjadi
jurnalis perempuan haruslah tahan banting. Dari pandangan mereka, penulis
menangkap bahwa adanya Serikat Pekerja (seperti yang menjadi salah satu sorotan
di film “Dibalik Frekuensi”) itu tidak diperlukan adanya. Mereka berpandangan
masih banyak jalur lain yang bisa digunakan untuk memperoleh legitimasi bagi
jurnalis perempuan.
Jurnalistik bisa digunakan
sebagai senjata untuk mendapatkan kesetaraan kaum perempuan di media. Jurnalis adalah pekerjaan yang bisa
dikatakan menjadi ‘sentral’ dalam pembentukan opini dan pengungkapan fakta di
masyarakat. Jika pekerjaan ini didominasi oleh kaum pria saja, hal ini sudah
tentu mengakibatkan diskriminasi terhadap isu-isu perempuan. Sekeras apapun
usaha jurnalis pria mengangkat isu perempuan, tulisan yang dihasilkan tidak
akan bisa mengangkat sepenuhnya dengan seimbang. Di sini lah peran jurnalis
perempuan sangat dibutuhkan untuk mengangkat isu perempuan di masyarakat dan
menciptakan keseimbangan di pemberitaan agar tidak ada ketimpangan dan
diskriminasi gender dalam penciptaan sudut pandang yang ada di masyarakat.
Dengan menjadi seorang jurnalis,
perempuan bisa ikut andil dalam mengontrol isu dan berita yang akan diedarkan
di masyarakat. Meskipun masih ada pembatasan, akan tetapi dengan adanya
kontribusi ini, setidaknya perempuan bisa lebih dipandang dengan sisi lain yang
tidak terjamah ‘polarisasi’ stereotip masyarakat maupun marjinalisasi.
Selain itu, menjadi jurnalis,
berarti berusaha menempatkan diri sebagai subjek yang beproduksi. Dengan
menjadi jurnalis, perempuan akan berpotensi besar mengubah pandangan masyarakat
yang menempatkan perempuan sebagai objek di media, dan mengantinya menjadi
subjek yang memiliki kesamaan hak dan kewajiban, bukan semata untuk
dikomersialkan.
kemarin teman saya sms, teman SMK, sudah lama ndak bertemu, kangen katanya, untuk memenuhi rasa penasarannya, saya meng-iya-kan permintaannya untuk bertemu. tadi siang, saya bertemu teman saya, setelah ngobrol sebentar, sana sini, ini itu, saya pamit, ndak lama obrolan kami, sekitar 15 menit. sambil berlalu, sedikit berteriak, ia berkata :
"sok mben, lek awakdewe kumpul-kumpul ambek arek-arek, ajaken katnis evendin mu yo ndor?"
Aku sedikit bingung, juga agak berteriak, balik bertanya :
"hah? sopo? katnis?"
dia menghilang, ke dalam ruangan.
ada yang merasa bernama katnis?
bantu saya mencarinya,
mandor.
Beberapa waktu lalu, seorang teman perempuan saya berkata :
"Ndor, perasaan kon 21 tahun kurang sak wulan, pengalamanmu sak arat-arat, koncomu nandi-nandi, siji seng gak tau kon duwe".
Aku, yang sebenernya sudah tau dia akan mengarahkan pembicaraannya kemana, balik bertanya :
"opo iku?"
Dia menjawab, dengan penuh kebanggan dan sedikit mengolok-olok :
"PACAR".
Saya diam, sedikit tersenyum, dan dalam hati saya :
"yah, karena memang saya memilih untuk itu sementara ini."
salam hangat,
orang yang sedang berusaha memilih. :)
Malam ini saya tiba-tiba terbangun, entah. badan saya gemetaran. mulut saya terkunci. ketikan ini, mungkin, kalo dilakukan lewat papan ketik yang lebih berat, mungkin saya tidak bisa melakukannya. Saya tiba-tiba seperti berada didalam dilema besar, entah apa itu. saya berusaha menuliskan, tapi tak tahu deskripsi yang pas untuk menggambarkannya.
Sayup-sayup terdengar tampak seperti suara petir, saya tidak tahu pasti itu apa. Yang jelas disini tidak hujan, mungkin dibelahan bumi lain sedang hujan. entah juga, rasa ketakutan saya bertambah ketika itu. saya ingin berteriak, tapi kenapa saya ndak mampu hanya untuk berdiri saja? aaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh, ada apa ini?
Pada awal semester genap tahun kedua saya di Universitas
Airlangga, saya sempat was-was dengan jurusan saya, sebagian dosen ‘pergi’
dengan dalih mencari ilmu untuk menambah kualitas pengajar. Beruntung, sampai
saat ini, segelintir dosen yang tersisa masih mampu untuk menyelesaikan tugas
dengan baik, meskipun dengan beberapa catatan. Mereka, dosen yang tersisa,
seolah menjadi hero bagi kami mahasiswa yang haus akan ilmu. Saya terkesan
dengan beberapa dosen yang merangkap menjadi pengajar dalam beberapa matakuliah
yang berbeda. Saya sarankan, jika kloning dihalalkan agama, mereka mengkloning
diri saja agar beban dipundak yang dipikulnya sedikit berkurang. Mungkin,
karena ingin mengantisipasi ledakan tugas mahasiswa yang akan mereka baca dan
periksa dengan baik (entah sebelumnya dilakukan atau tidak), matakuliah
asistensi digiatkan. Mereka seolah mengemis kepada mahasiswa untuk bisa
meng-approve matakuliah asistensi di lembar KRS mahasiswa.
Namun, tak semuanya seperti itu, ada dosen kreatif yang akan
mencoba cara lain untuk diterapkan. Terkesan seperti alibi, salah seorang dosen
mencoba menantang kami dalam pertemuan dengan beberapa mahasiswa yang bertempat
di Aula gedung C FISIP Unair di akhir semester ganjil. Pernyataan yang kurang
lebih keluar dari penjelasan dia adalah, “Kami ingin menantang mahasiswa
komunikasi (unair, red), kalau akhir-akhir ini nggak banyak karya yang mereka
telurkan dengan alasan tidak ada waktu karena banyak tugas. Maka, untuk
semester depan, kita akan coba, apakah dengan mengurangi jumlah tugas kalian,
kalian akan semakin produktif dalam hal karya?”. Kala itu, saya dan beberapa
teman yang aktif di kampus seolah mendapatkan angin segar, seakan bisa merebut
kemerdekaan kami, setelah pada semester sebelumnya dibombardir dengan banyak
tugas. “Akhirnya kami bisa sedikit bernafas lega semester depan”, pikir saya
kala itu.
Tapi, seiring berjalannya waktu, seolah janji dosen yang awalnya
bercita-cita menjadi jurnalis ini perlahan luntur dan semakin berkontradiksi
dengan kenyataan yang ada. Saya kaget ketika mendengar statement dosen
berkacamata ini beberapa hari yang lalu yang kurang lebihnya seperti ini,
“Tenang, untuk UTS mata kuliah ini take
home, kelompok dan soal yang harus kalian kerjakan akan saya bagikan minggu
depan karena yang akan kalian lakukan akan sangat berat” - It’s a bullshit
things folks!
Dan ini tidak berlaku untuk dosen berpawakan tambun ini saja,
hampir di setiap sks yang saya ambil diawal perkuliahan menerapkan sistem yang
hampir sama. Apakah ini sebagai bentuk kekecewaan karena kurangnya partner yang
bekerja / mengajar di jurusan saya? Saya tidak mau berspekulasi, yang jelas ini
bukan bentuk pemenuhunan dari kutipan di kalimat kesembilan paragraf kedua.
saya heran, entah kenapa rasa heran itu muncul hari ini. Tentang sebagian besar teman-teman saya yang pernah pacaran. Atau lebih tepatnya, teman saya yang suka / hobi, katanya, "melabuhkan" hatinya dari satu hati ke hati yang lain. Pertanyaan yang pertama kali muncul : kenapa saya harus heran? Pertanyaan kedua, bukankah mereka menganggap itu semua lumrah adanya? Tidak cocok langsung ganti atau yang lebih parah buang, khas budaya pop, yang sangat berbeda dengan budaya kakek nenek saya yang ketika mereka menemukan ketidaksamaan atau kerusakan (pada hubungan) mereka berusaha untuk memperbaiki sampai benar-benar kembali seperti semula. Mungkin keadaan ekonomi yang membuat mereka seperti itu, dulu karena apa-apa susah didapatkan dan jarang orang punya, mereka jadi "eman" ke sesuatu yang dimiliki. Sekarang, karena semua serba instan, mudah didapat dan diakses, kalau muncul ketidakcocokan atau masalah, maka akan cenderung cari yang lain, yang lama dibuang.
kembali ke pertanyaan awal, kenapa saya harus heran? teman saya mengatakan bahwa saya kurang kerjaan, membahas hal yang gak perlu dibahas. Lalu, kalo kita gak bahas dan perbaiki itu, kapan kita akan berbenah? Sebenernya saya menemukan jawaban yang mungkin sedikit memberikan pencerahan. Saya heran, karena saya bosan melihat orang dengan muka sok tak berdosa(biasanya laki-laki), dengan mudahnya mempermainkan orang lain. Sebenernya saya juga heran dengan konsep pacaran yang banyak dipakai oleh sebagian besar teman-teman saya. Kenapa harus pacaran kalo sebelum pacaran kita saling tegur, bergurau, santai yang kurang lebih sama dengan saat pacaran, dan setelah keluar kata "putus" hubungan dua orang tadi menjadi renggang? pertanyaan lanjutan yang kurang lebih sama, lalu untuk apa pacaran? hanya untuk merenggangkan hubungan sesama manusia? Mungkin ini juga yang membuat saya nggak pernah menerapkan / mengamalkan konsep pacaran ini.
tulisan ini akan saya akhiri, karena memang saya belum menemukan jawaban yang memuaskan dari sekian banyak pertanyaan saya. mungkin ini cocok untuk dilakukan penelitian kecil-kecilan. sambil menunggu hasil penelitian saya, bolehlah kawan2 menyampaikan unek2 lewat "comment" dibawah.
CMIIW,
sam sam.
Saya setuju dengan tulisan pak dahlan yang menyatakan sebaiknya (bagi kementrian BUMN) tahun 2013 itu tak usah disertakan, kalau targetnya sama seperti 2012 (Tahun kerja, kerja,kerja!), mending disebut tahun 2012-B saja.
Yah, setidaknya kasus ini sama dengan apa yang saya targetkan diawal tahun 2012 yang lalu, saya ingin menjadi orang berguna! Jadi orang Kanggo! Jadi salahsatu most powerful people! tahun ini mungkin gak jauh beda dengan tahun lalu, hanya saja saya ingin lebih berguna, lebih kanggo dan nggak hanya powerful, tapi juga impactful!
Diberdayakan oleh Blogger.