Diskriminasi Jurnalis Perempuan di Lapangan

Ketika pria yang menjadi jurnalis dan mewawancarai narasumber, pria dipandang sebagai jurnalis yang lebih dipercaya dalam memegang informasi dan kredibel ketimbang jurnalis perempuan. Selain itu jurnalis pria dianggap lebih matang dan tangkas. "Dan yang terjadi ketika jurnalis perempuan yang terjun untuk mencari informasi ke narasumber, maka narasumber biasanya ‘meremehkan’ dengan beberapa perlakuan seperti (kadang) melecehkan, menggoda, atau bahkan menanggapi pertanyaan dengan tidak serius", Marta membagi pengalamannya.

Baca selengkapnya »



Keterlibatan perempuan dalam dunia jurnalistik sebetulnya sudah mengalami peningkatan. Melalui survey tahun 2005, kira-kira dari 100.000 jurnalis yang ada di Indonesia, 17% di dalamnya adalah jurnalis perempuan. Akan tetapi dampak dan efeknya di masyarakat masih belum berpengaruh banyak. "Masih perlu ada peningkatan partisipasi perempuan di dunia jurnalistik ini. Untuk meminimalisir adanya diskriminasi gender dalam media", harap Emi.

Baca selengkapnya »



Sejauh ini perempuan dan media massa ada sebuah titik permasalahan yang masih belum bisa diatasi. "Representasi perempuan di media massa itu sendiri menjadi sebuah lingkar persoalan yang lumayan mencakup banyak hal. Pandangan perempuan sebagai sebuah objek, salah satunya", Emi sedikit curhat. Isi pemberitaan yang seringkali menempatkan perempuan di titik terlemah sebagai korban, pihak yang tidak berdaya, atau bahkan menjadi pihak yang memancing terjadinya kriminalitas di kalangan masyarakat. Hal ini bisa diantisipasi bila yang meliput pemberitaan diimbangi oleh keberadaan jurnalis perempuan. "Penempatan pandangan jurnalis pria akan wanita sebetulnya juga perlu untuk diperbaiki, agar setidaknya meskipun penulisan dibuat oleh jurnalis pria tetapi diskriminasi gender dalam tulisan bisa diminimalkan", Marta beragumen.

Baca selengkapnya »



Dari output kerja yang dihasilkan, biasanya ada rubrikasi sendiri yang memisahkan antara jurnalis perempuan dan jurnalis pria. Sudut pandang perempuan biasanya dituangkan di rubrik yang membahas tentang serba-serbi dunia perempuan. "Di Jawa Pos, nama rubriknya adalah 'For Her'. Meskipun ada juga masukan tulisan dari jurnalis pria di situ, tetapi jumlah artikelnya didominasi oleh perempuan", jelas Aini  yang mencoba sedikit berbagi pengalaman tentang tempat ia bekerja

Baca selengkapnya »



"Menjadi jurnalis perempuan itu harus bermental baja. Resiko yang dihadapi di lapangan tidak jauh berbeda dengan jurnalis pria" - Marta Nurfaidah, jurnalis perempuan koran Surya.


Kutipan di atas mengawali sesi wawancara saya dengan beberapa wartawan perempuan di Surabaya. Ditemui di Hotel Plasa Surabaya, mereka tampak sedang sibuk melakukan liputan pada acara peringatan hari kartini Jumat (19/4). "Secara fisik dan mental semuanya harus dimatangkan terlebih dahulu sebelum benar-benar menyiapkan diri menjadi seorang jurnalis perempuan", Emi Harris jurnalis Seputar Indonesia Jawa Timur. Memang, menjadi jurnalis masih menjadi pekerjaan yang riskan bagi perempuan. Terlebih dalam melawan sensitivitas yang dimiliki oleh hati perempuan pada umumnya, sebagai jurnalis perempuan hal itu juga harus dikendalikan dengan seksama. Mengingat dunia yang akan dihadapi adalah dunia jurnalistik yang keras dan tidak memandang pria atau wanita. "Semua dipukul rata, dan itu yang menjadikan jurnalis perempuan harus memiliki sifat yang tidak mudah sakit hati", tambah Hany Akassah dari Radar Surabaya.

Baca selengkapnya »


Dewasa ini profesi sebagai jurnalis tidak hanya digeluti oleh kaum pria. Kaum perempuan juga ikut andil dalam meramaikan dunia jurnalistik di Indonesia. Adanya emansipasi wanita serta terbukanya pandangan era posmodernisme dan kesetaraan gender membuat profesi jurnalis tidak hanya dipandang sebagai wilayah kaum pria saja. Selain itu, profesi jurnalis ini juga memiliki kekhususan tersendiri bila yang menerjuninya adalah seorang wanita. Dengan sifat rajin dan disiplin yang notabene dimiliki seorang wanita, profesi jurnalis akan menjadi semakin terbuka dan tidak memandang gender. Sebenarnya ada beberapa perbedaan antara jurnalis perempuan dan pria, seperti dalam hal tunjangan dan pengajuan hari libur. Yang menjadi pertanyaan, sudah adilkah porsi hak dan kewajiban antar keduanya?


Adapun narasumber yang penulis sertakan di sini adalah Martha Nurfaidah dari media cetak Surya, Hany Akassah dari Radar, Aini Roosidawati dari Jawa Pos, serta Emi Haris dari Sindo. Keempatnya memiliki kesamaan kesepakatan, yaitu sama-sama mengungkapkan bahwa menjadi jurnalis perempuan haruslah tahan banting. Dari pandangan mereka, penulis menangkap bahwa adanya Serikat Pekerja (seperti yang menjadi salah satu sorotan di film “Dibalik Frekuensi”) itu tidak diperlukan adanya. Mereka berpandangan masih banyak jalur lain yang bisa digunakan untuk memperoleh legitimasi bagi jurnalis perempuan.

Jurnalistik bisa digunakan sebagai senjata untuk mendapatkan kesetaraan kaum perempuan di media. Jurnalis adalah pekerjaan yang bisa dikatakan menjadi ‘sentral’ dalam pembentukan opini dan pengungkapan fakta di masyarakat. Jika pekerjaan ini didominasi oleh kaum pria saja, hal ini sudah tentu mengakibatkan diskriminasi terhadap isu-isu perempuan. Sekeras apapun usaha jurnalis pria mengangkat isu perempuan, tulisan yang dihasilkan tidak akan bisa mengangkat sepenuhnya dengan seimbang. Di sini lah peran jurnalis perempuan sangat dibutuhkan untuk mengangkat isu perempuan di masyarakat dan menciptakan keseimbangan di pemberitaan agar tidak ada ketimpangan dan diskriminasi gender dalam penciptaan sudut pandang yang ada di masyarakat.

Dengan menjadi seorang jurnalis, perempuan bisa ikut andil dalam mengontrol isu dan berita yang akan diedarkan di masyarakat. Meskipun masih ada pembatasan, akan tetapi dengan adanya kontribusi ini, setidaknya perempuan bisa lebih dipandang dengan sisi lain yang tidak terjamah ‘polarisasi’ stereotip masyarakat maupun marjinalisasi.

Selain itu, menjadi jurnalis, berarti berusaha menempatkan diri sebagai subjek yang beproduksi. Dengan menjadi jurnalis, perempuan akan berpotensi besar mengubah pandangan masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai objek di media, dan mengantinya menjadi subjek yang memiliki kesamaan hak dan kewajiban, bukan semata untuk dikomersialkan.


kemarin teman saya sms, teman SMK, sudah lama ndak bertemu, kangen katanya, untuk memenuhi rasa penasarannya, saya meng-iya-kan permintaannya untuk bertemu. tadi siang, saya bertemu teman saya, setelah ngobrol sebentar, sana sini, ini itu, saya pamit, ndak lama obrolan kami, sekitar 15 menit. sambil berlalu, sedikit berteriak, ia berkata :

"sok mben, lek awakdewe kumpul-kumpul ambek arek-arek, ajaken katnis evendin mu yo ndor?"

Aku sedikit bingung, juga agak berteriak, balik bertanya :

"hah? sopo? katnis?"

dia menghilang, ke dalam ruangan.

ada yang merasa bernama katnis?

bantu saya mencarinya,
mandor.


Beberapa waktu lalu, seorang teman perempuan saya berkata :

"Ndor, perasaan kon 21 tahun kurang sak wulan, pengalamanmu sak arat-arat, koncomu nandi-nandi, siji seng gak tau kon duwe".

Aku, yang sebenernya sudah tau dia akan mengarahkan pembicaraannya kemana, balik bertanya :

"opo iku?"

Dia menjawab, dengan penuh kebanggan dan sedikit mengolok-olok :

"PACAR".

Saya diam, sedikit tersenyum, dan dalam hati saya :

"yah, karena memang saya memilih untuk itu sementara ini."



salam hangat,
orang yang sedang berusaha memilih. :)




Malam ini saya tiba-tiba terbangun, entah. badan saya gemetaran. mulut saya terkunci. ketikan ini, mungkin, kalo dilakukan lewat papan ketik yang lebih berat, mungkin saya tidak bisa melakukannya. Saya tiba-tiba seperti berada didalam dilema besar, entah apa itu. saya berusaha menuliskan, tapi tak tahu deskripsi yang pas untuk menggambarkannya.

Sayup-sayup terdengar tampak seperti suara petir, saya tidak tahu pasti itu apa. Yang jelas disini tidak hujan, mungkin dibelahan bumi lain sedang hujan. entah juga, rasa ketakutan saya bertambah ketika itu. saya ingin berteriak, tapi kenapa saya ndak mampu hanya untuk berdiri saja? aaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh, ada apa ini?

Baca selengkapnya »



Pada awal semester genap tahun kedua saya di Universitas Airlangga, saya sempat was-was dengan jurusan saya, sebagian dosen ‘pergi’ dengan dalih mencari ilmu untuk menambah kualitas pengajar. Beruntung, sampai saat ini, segelintir dosen yang tersisa masih mampu untuk menyelesaikan tugas dengan baik, meskipun dengan beberapa catatan. Mereka, dosen yang tersisa, seolah menjadi hero bagi kami mahasiswa yang haus akan ilmu. Saya terkesan dengan beberapa dosen yang merangkap menjadi pengajar dalam beberapa matakuliah yang berbeda. Saya sarankan, jika kloning dihalalkan agama, mereka mengkloning diri saja agar beban dipundak yang dipikulnya sedikit berkurang. Mungkin, karena ingin mengantisipasi ledakan tugas mahasiswa yang akan mereka baca dan periksa dengan baik (entah sebelumnya dilakukan atau tidak), matakuliah asistensi digiatkan. Mereka seolah mengemis kepada mahasiswa untuk bisa meng-approve matakuliah asistensi di lembar KRS mahasiswa.

Namun, tak semuanya seperti itu, ada dosen kreatif yang akan mencoba cara lain untuk diterapkan. Terkesan seperti alibi, salah seorang dosen mencoba menantang kami dalam pertemuan dengan beberapa mahasiswa yang bertempat di Aula gedung C FISIP Unair di akhir semester ganjil. Pernyataan yang kurang lebih keluar dari penjelasan dia adalah, “Kami ingin menantang mahasiswa komunikasi (unair, red), kalau akhir-akhir ini nggak banyak karya yang mereka telurkan dengan alasan tidak ada waktu karena banyak tugas. Maka, untuk semester depan, kita akan coba, apakah dengan mengurangi jumlah tugas kalian, kalian akan semakin produktif dalam hal karya?”. Kala itu, saya dan beberapa teman yang aktif di kampus seolah mendapatkan angin segar, seakan bisa merebut kemerdekaan kami, setelah pada semester sebelumnya dibombardir dengan banyak tugas. “Akhirnya kami bisa sedikit bernafas lega semester depan”, pikir saya kala itu.

Tapi, seiring berjalannya waktu, seolah janji dosen yang awalnya bercita-cita menjadi jurnalis ini perlahan luntur dan semakin berkontradiksi dengan kenyataan yang ada. Saya kaget ketika mendengar statement dosen berkacamata ini beberapa hari yang lalu yang kurang lebihnya seperti ini, “Tenang, untuk UTS mata kuliah ini take home, kelompok dan soal yang harus kalian kerjakan akan saya bagikan minggu depan karena yang akan kalian lakukan akan sangat berat” - It’s a bullshit things folks!

Dan ini tidak berlaku untuk dosen berpawakan tambun ini saja, hampir di setiap sks yang saya ambil diawal perkuliahan menerapkan sistem yang hampir sama. Apakah ini sebagai bentuk kekecewaan karena kurangnya partner yang bekerja / mengajar di jurusan saya? Saya tidak mau berspekulasi, yang jelas ini bukan bentuk pemenuhunan dari kutipan di kalimat kesembilan paragraf kedua. 


saya heran, entah kenapa rasa heran itu muncul hari ini. Tentang sebagian besar teman-teman saya yang pernah pacaran. Atau lebih tepatnya, teman saya yang suka / hobi, katanya, "melabuhkan" hatinya dari satu hati ke hati yang lain. Pertanyaan yang pertama kali muncul : kenapa saya harus heran? Pertanyaan kedua, bukankah mereka menganggap itu semua lumrah adanya? Tidak cocok langsung ganti atau yang lebih parah buang, khas budaya pop, yang sangat berbeda dengan budaya kakek nenek saya yang ketika mereka menemukan ketidaksamaan atau kerusakan (pada hubungan)  mereka berusaha untuk memperbaiki sampai benar-benar kembali seperti semula. Mungkin keadaan ekonomi yang membuat mereka seperti itu, dulu karena apa-apa susah didapatkan dan jarang orang punya, mereka jadi "eman" ke sesuatu yang dimiliki. Sekarang, karena semua serba instan, mudah didapat dan diakses, kalau muncul ketidakcocokan atau masalah, maka akan cenderung cari yang lain, yang lama dibuang.

kembali ke pertanyaan awal, kenapa saya harus heran? teman saya mengatakan bahwa saya kurang kerjaan, membahas hal yang gak perlu dibahas. Lalu, kalo kita gak bahas dan perbaiki itu, kapan kita akan berbenah? Sebenernya saya menemukan jawaban yang mungkin sedikit memberikan pencerahan. Saya heran, karena saya bosan melihat orang dengan muka sok tak berdosa(biasanya laki-laki), dengan mudahnya mempermainkan orang lain. Sebenernya saya juga heran dengan konsep pacaran yang banyak dipakai oleh sebagian besar teman-teman saya. Kenapa harus pacaran kalo sebelum pacaran kita saling tegur, bergurau, santai yang kurang lebih sama dengan saat pacaran, dan setelah keluar kata "putus" hubungan dua orang tadi menjadi renggang? pertanyaan lanjutan yang kurang lebih sama, lalu untuk apa pacaran? hanya untuk merenggangkan hubungan sesama manusia? Mungkin ini juga yang membuat saya nggak pernah menerapkan / mengamalkan konsep pacaran ini.

tulisan ini akan saya akhiri, karena memang saya belum menemukan jawaban yang memuaskan dari sekian banyak pertanyaan saya. mungkin ini cocok untuk dilakukan penelitian kecil-kecilan. sambil menunggu hasil penelitian saya, bolehlah kawan2 menyampaikan unek2 lewat "comment" dibawah.

CMIIW,
sam sam.



Saya setuju dengan tulisan pak dahlan yang menyatakan sebaiknya (bagi kementrian BUMN) tahun 2013 itu tak usah disertakan, kalau targetnya sama seperti 2012 (Tahun kerja, kerja,kerja!), mending disebut tahun 2012-B saja. 

Yah, setidaknya kasus ini sama dengan apa yang saya targetkan diawal tahun 2012 yang lalu, saya ingin menjadi orang berguna! Jadi orang Kanggo! Jadi salahsatu most powerful people! tahun ini mungkin gak jauh beda dengan tahun lalu, hanya saja saya ingin lebih berguna, lebih kanggo dan nggak hanya powerful, tapi juga impactful! 

Baca selengkapnya »


Diberdayakan oleh Blogger.