"Menjadi jurnalis perempuan itu harus bermental baja. Resiko yang dihadapi di lapangan tidak jauh berbeda dengan jurnalis pria" - Marta Nurfaidah, jurnalis perempuan koran Surya.
Kutipan di atas mengawali sesi wawancara saya dengan beberapa wartawan perempuan di Surabaya. Ditemui di Hotel Plasa Surabaya, mereka tampak sedang sibuk melakukan liputan pada acara peringatan hari kartini Jumat (19/4). "Secara fisik dan mental semuanya harus dimatangkan
terlebih dahulu sebelum benar-benar menyiapkan diri menjadi seorang jurnalis
perempuan", Emi Harris jurnalis Seputar Indonesia Jawa Timur. Memang, menjadi jurnalis masih menjadi pekerjaan yang riskan bagi perempuan. Terlebih dalam melawan sensitivitas yang dimiliki oleh hati
perempuan pada umumnya, sebagai jurnalis perempuan hal itu juga harus
dikendalikan dengan seksama. Mengingat dunia yang akan dihadapi adalah dunia
jurnalistik yang keras dan tidak memandang pria atau wanita. "Semua dipukul
rata, dan itu yang menjadikan jurnalis perempuan harus memiliki sifat yang
tidak mudah sakit hati", tambah Hany
Akassah dari Radar Surabaya.
Berbicara soal hak dan kewajiban,
ada pembedaan antara jurnalis pria dan perempuan. Jikalau pria memperoleh
tunjangan pribadi dan keluarga, maka perempuan hanya memperoleh tunjangan
pribadi saja. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika jurnalis perempuan
itu adalah tulang punggung keluarga? "Ada lagi, soal hari libur. Porsi yang diberikan
kepada jurnalis perempuan ada tambahan khusus berupa cuti hamil dan menikah.
Namun terkadang jatah cuti yang diberikan masih belum cukup, apalagi jika
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka worst
case adalah perpanjangan masa cuti yang akan ada konsekuensinya sendiri", Sambung Aini
Roosilawati dari Jawa Pos.
Di tempat kerja jurnalis, tidak ada
perbedaan secara signifikan antara jurnalis pria dan perempuan. "Mungkin secara
perlakuan sosial di tempat kerja masih ada perbedaan, tetapi jika sudah terjun
di lapangan maka tidak akan ada perbedaan perlakuan profesi antara jurnalis
pria dan jurnalis perempuan", Hanny Akassah mencoba memberikan sedikit gambaran. Komposisi tugas yang dikerjakan jurnalis perempuan
juga sama dengan jurnalis pria. Bahkan ada juga jurnalis perempuan yang meng-cover beberapa pekerjaan jurnalis pria
sekaligus. Biasanya itu terjadi karena ketidakhadiran rekan kerja jurnalis pria
itu di kantor, sehingga imbasnya jurnalis perempuan yang mengambil alih
pekerjaannya.(bersambung~)