Dewasa ini profesi sebagai jurnalis
tidak hanya digeluti oleh kaum pria. Kaum perempuan juga ikut andil dalam
meramaikan dunia jurnalistik di Indonesia. Adanya emansipasi wanita serta
terbukanya pandangan era posmodernisme dan kesetaraan gender membuat profesi
jurnalis tidak hanya dipandang sebagai wilayah kaum pria saja. Selain itu,
profesi jurnalis ini juga memiliki kekhususan tersendiri bila yang menerjuninya
adalah seorang wanita. Dengan sifat rajin dan disiplin yang notabene dimiliki
seorang wanita, profesi jurnalis akan menjadi semakin terbuka dan tidak
memandang gender. Sebenarnya ada beberapa perbedaan antara jurnalis perempuan
dan pria, seperti dalam hal tunjangan dan pengajuan hari libur. Yang menjadi
pertanyaan, sudah adilkah porsi hak dan kewajiban antar keduanya?
Adapun narasumber yang penulis
sertakan di sini adalah Martha Nurfaidah dari media cetak Surya, Hany Akassah
dari Radar, Aini Roosidawati dari Jawa Pos, serta Emi Haris dari Sindo. Keempatnya
memiliki kesamaan kesepakatan, yaitu sama-sama mengungkapkan bahwa menjadi
jurnalis perempuan haruslah tahan banting. Dari pandangan mereka, penulis
menangkap bahwa adanya Serikat Pekerja (seperti yang menjadi salah satu sorotan
di film “Dibalik Frekuensi”) itu tidak diperlukan adanya. Mereka berpandangan
masih banyak jalur lain yang bisa digunakan untuk memperoleh legitimasi bagi
jurnalis perempuan.
Jurnalistik bisa digunakan
sebagai senjata untuk mendapatkan kesetaraan kaum perempuan di media. Jurnalis adalah pekerjaan yang bisa
dikatakan menjadi ‘sentral’ dalam pembentukan opini dan pengungkapan fakta di
masyarakat. Jika pekerjaan ini didominasi oleh kaum pria saja, hal ini sudah
tentu mengakibatkan diskriminasi terhadap isu-isu perempuan. Sekeras apapun
usaha jurnalis pria mengangkat isu perempuan, tulisan yang dihasilkan tidak
akan bisa mengangkat sepenuhnya dengan seimbang. Di sini lah peran jurnalis
perempuan sangat dibutuhkan untuk mengangkat isu perempuan di masyarakat dan
menciptakan keseimbangan di pemberitaan agar tidak ada ketimpangan dan
diskriminasi gender dalam penciptaan sudut pandang yang ada di masyarakat.
Dengan menjadi seorang jurnalis,
perempuan bisa ikut andil dalam mengontrol isu dan berita yang akan diedarkan
di masyarakat. Meskipun masih ada pembatasan, akan tetapi dengan adanya
kontribusi ini, setidaknya perempuan bisa lebih dipandang dengan sisi lain yang
tidak terjamah ‘polarisasi’ stereotip masyarakat maupun marjinalisasi.
Selain itu, menjadi jurnalis,
berarti berusaha menempatkan diri sebagai subjek yang beproduksi. Dengan
menjadi jurnalis, perempuan akan berpotensi besar mengubah pandangan masyarakat
yang menempatkan perempuan sebagai objek di media, dan mengantinya menjadi
subjek yang memiliki kesamaan hak dan kewajiban, bukan semata untuk
dikomersialkan.